Kamis, 19 Januari 2012

 Sepasang Mata Baru Untuk Bapak 

 “Bu, Zyra mau bakso ya buu ??”
Pinta Zyra kepada ibunya di dapur. Bakso adalah makanan kegemaran Zyra.  
“Ya ya nanti minta tolong cak Kiyat aja ya beliinnya”, jawab bu Wardah.
“Tapi Zyra ikut ya bu ? Ya ?”  tanyanya lagi pada bu Wardah.
“Ya” jawab bu Wardah singkat sambil mengiris bawang merah.
“Bapak mau nggak baksonya ? nanti Zyra beliin untuk bapak” tanya Zyra.
“Ya boleh, dua porsi ya nanti untuk bapak ya wuk” jawab pak Fajri yang sedang duduk di teras samping dapur rumahnya, di kursi kayu dengan cat berwarna coklat tua. Di sampingnya terdapat sebuah meja kecil beralaskan taplak meja berwarna cokelat muda dengan payet-payet jahitan bermotif bunga mawar berwarna merah. Di atas meja kecil tersebut ada sebuah radio kecil yang memperdengarkan tembang-tembang jawa dan secangkir kopi hitam pahit kegemaran pak Fajri. Wuk adalah panggilan kesayangan untuk seorang anak perempuan dalam adat Jawa. Sejak kecil Zyra memang sering dipanggil wuk oleh pak Fajri.
“Iya iya Zyra tau pak” jawab Zyra sambil cengar-cengir.
Pak Fajri hanya tersenyum simpul sambil tetap menatap kedepan sembari menghisap rokok di tangan kanannya.
Tahun 2007
Zyra  Adhi Amalia, anak pertama dari pasangan pak Fajri dan bu Wardah. Tahun ini Zyra kelas 6 SD dan tahun ini adalah tahun kelulusannya. Zyra bersekolah di satu-satunya Sekolah Dasar Swasta milik Perusahaan BUMN. Zyra juga memiliki 2 adik, Damar Rahardian dan Ardy Rihamsyah. Mereka tinggal di sebuah kompleks perumahan BUMN di Sumatera Selatan karena pak Fajri bekerja sebagai Staf perusahaan BUMN tersebut.
“Bu Zyra berangkat dulu ya” Zyra berpamitan pada bu Wardah sambil menyaliminya.
“Ya, hati-hati naik sepedanya kalau nyebrang lihat kanan kiri dulu!”.
“Iya iya bu, Zyra tau kok” jawab Zyra,”Bapak mana bu?”
 “Di belakang lagi nyemai biji balam”sahut bu Wardah.
“Pak, Zyra mau berangkat dulu nih” seru Zyra sambil berlari kecil.
Pak Fajri yang sedang duduk berjongkok di depan barisan polibag yang berisi biji balam atau biji keret. Pak Fajri nampak sedikit terkejut dengan suara Zyra, ia pun menoleh “Oh iya ya hati-hati ya wuk” jawab pak Fajri.
“Salim pak” pinta Zyra sambil mengambil tangan pak Fajri  “tangan bapak kotor gini lo wuk,” tapi terlambat, Zyra sudah mencium tangannya.
“Pak, kapan bapak nganter Zyra lagi kesekolah? Zyra juga mau kayak mbak Tika pak tiap pagi dianter sama ayahnya, terus pulang sekolah juga dijemput pak” ujar Zyra panjang.
Pak Fajri nampak menghela nafas panjang “Ya nanti kalau bapak sudah sembuh, pasti bapak anter. Makanya Zyra doakan supaya bapak cepat sembuh, ya” jawab pak Fajri sambil menggenggam erat tangan mungil Zyra.
“Bapak janji ya?” tanya Zyra lagi.
“Iya bapak janji” jawab pak Fajri tersenyum “Ya sudah sana berangkat nanti terlambat, jangan lupa nyebrangnya hati-hati ya wuk!” pak Fajri mengingatkan.
“Iya pak, Assalammualaikum” ucap Zyra sembari melangkah meninggalkan pak Fajri. Pak Fajri hanya bisa mendengar dari mana asal suara Zyra melangkah pergi dengan perasaan sedih.
Lelaki paruh baya itu bertubuh tinggi besar, tingginya sekitar 178cm. Berkulit kuning kecoklatan karna terbakar sinar matahari. Hidungnya mancung dan memiliki bola mata yang besar. Pak Fajri merupakan anak kedua dari tujuh bersudara. Saudaranya kebanyakan berada di pulau sebrang, Jawa. Kakaknya bekerja di sebuah bank swasta di Ibukota, sementara adik-adiknya yang lain berdomisili di sekitar tempat tinggal orangtuanya di Temanggung, Jawa Tengah. Ya, pak Fajri adalah perantau dari Jawa.


“Kamu dianter ya mbak tadi? Aku kan jadi enggak punya temen di jalan tadi mbak” ujar Zyra pada Tika sambil cemberut. Tika, tetangga sekaligus teman sebangkunya di sekolah. Zyra memanggilnya mbak karna sudah terbiasa walaupun umurnya hanya berselisih 3 bulan lebih tua dari Zyra.
“Hehe ya maaf dek tadi diajak ayah barengan sekalian ayah kerja gitu” jawab Tika sambil tertawa kecil melihat mimik muka Zyra. Tika tau Zyra sangat ingin diantar jemput seperti dirinya.
“Ahh kamu nih mbak, besok barengan aku ya. Aku enggak ada temen” sahut Zyra memelas.
“Iya iya wes besok aku tak naik sepeda” jawab Tika tersenyum.
“Selamat pagi anak-anak” sapa bu Atik guru matematika melangkah ke dalam kelas diiringi suara anak-anak yang berebut duduk dibangkunya masing-masing.
“PR kalian dikumpul ya” perintah bu Atik.
“Punyamu mana mbak? Sini aku kumpul sekalian” Zyra menawarkan.
“Aduh dek, aku lupa! Nomor 5 belum, lihat dek punyamu” pinta Tika.
“Ya sudah nih, tapi cepet mbak nanti ketahuan bu Atik” Zyra menyerahkan buku latihan matematikanya.
“Oi Zy, sudah belum PR? Aku lihat Zy” kata Ryo salah satu teman sekelas Zyra yang menurutnya paling menyebalkan.
“Males ah, kamu jahat suka ngejek bapakku ” jawab Zyra masa bodoh. Zyra ingat Ryo adalah anak lelaki yang paling sering membuatnya menangis karna masalah itu.
“Yaahh Zy, lihat sih. Aku enggak ngejek lagi deh” jawab Ryo dengan wajah memelas.
“Janji kamu? Awas ya kalau kamu masih ngejek bapakku, tak jotos nanti !” ancam Zyra.
“Ya udah mana bukunya cepetan” sahut Ryo.
“Mbak, kamu udah selesai belum nyatetnya?” tanya Zyra.
“Sudah dek, ini bukunya. Makasih ya” ucap Tika.
Zyra menyerahkan bukunya kepada Ryo, dengan cepat Ryo menyambar buku itu.
“Pelan-pelan kenapa sih? Bukuku jadi lecek tuh! Tau!” seru Zyra marah.
“Cerewet!” jawab Ryo sambil menjulurkan lidahnya.
“Dasar anak nyebelin! Cepetan nyatetnya jangan lupa nanti kumpulin sama bu Atik” ujar Zyra mengingatkan.
“Teeennggg ... Teeenggg !!!”
Bel pulang berbunyi. Semua murid berhamburan ke lapangan. Zyra berlari menuju tempat parkir sepeda, menaikkan standard sepedanya dan bergegas pulang. Zyra melihat Tika dan beberapa teman Zyra lainnya yang dijemput oleh ayahnya dengan perasaan sedih. Sudah lama Zyra tidak diantar-jemput oleh oleh Pak Fajri. Ada sedikit perasaan iri yang timbul dihatinya.
“Yaaa, kenapa kamu? Pingin dijemput juga ya? Hahaha” Ryo datang mengagetkan Zyra.
“Apa urusanmu?” jawab Zyra cuek.
“Gimana mau dianter, bapakmu kan buta!” ejek Ryo.
“Kamu ini! Kenapa sih selalu ...”
“Kamu iri kan? Ngaku aja!” seru Ryo memotong perkataan Zyra.
“Diam kamu! Tau apa kamu tentang bapakku? Jangan sok tau kamu, Yo !” teriak Zyra marah.
“Bapakmu kan memang buta, jadi mana bisa nganter kamu kayak gitu. Bisa-bisa numbur pohon lagi” sahut Ryo ringan.
“Jaga ya mulutmu, Yo! Bapakku enggak buta!” sahut Zyra berlalu cepat dengan sepedanya.
“Bilang aja kamu iri! Bentar lagi juga ayahku dateng untuk jemput aku!”
Zyra mempercepat laju sepedanya sambil menangis.



“Assalammualaikum...” Zyra memberi salam sembari memasukkan sepedanya ke dalam garasi.
“Waalaikum salam. Kenapa mbak kok lesu gitu?” tanya bu Wardah.
“Enggak apa-apa kok bu, Cuma capek aja” jawab Zyra berbohong. Tapi bu Wardah tau, anak perempuannya itu habis menangis.
“Ya sudah kalau gitu. Mandi sana ,bajunya digantung yang bener biar enggak lecek” bu Wardah mengingatkan.
“Ya bu” jawab Zyra lesu.
Seusai mandi Zyra duduk melamun di pinggir ranjangnya.
“Kenapa mbak?” tanya bu Wardah. “Kamu sakit to?”
“Enggak bu, Zyra baik-baik aja” jawab Zyra.
“Ya sudah, sana makan ada ikan gurame di runag makan. Ada bapak juga” tambah bu Wardah.
“Ya bu” dengan langkah gontai ia menuju ruang makan.
“Makan pak?” tanya Zyra pada pak Fajri yang sedang duduk di belakang meja sambil menghisap rokoknya.
“Bapak nanti aja makannya. Gimana tadi di sekolah wuk, ada ulangan?” tanya pak Fajri.
“Enggak ada pak, Cuma ngumpulin PR matematika yang semalem aku kerjain aja” jawab Zyra sambil mengunyah ikan gurame bakarnya.
“Dapat nilai berapa?” tanya pak Fajri lagi.
“90 pak, Zyra salah satu tadi” Zyra menjawab.
“Besok harus dapat 100 ya!” pak Fajri berkata sambil tersenyum.
“Ya pak, insyaAllah” jawab Zyra lagi, menatap sedih keadaan bapaknya saat ini.


Sejak kecil Zyra memang dekat dengan pak Fajri. Pak Fajri selalu menjemput dan mengantar Zyra dari ia bersekolah di Taman Kanak-Kanak sampai Zyra kelas 3 SD. Pak Fajri tak bisa lagi mengantar jemput Zyra karena penyakit mata yang diderita pak Fajri semakin parah.Dulu hampir setiap malam pak Fajri membantu Zyra mengerjakan PR ,atau membantunya belajar saat akan menghadapi ulangan.
Setelah selesai belajar mereka akan menonton salah satu acara komedi televisi yang membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal. Saat menonton acara komedi tersebut Zyra duduk di pangkuan pak Fajri. Dulu saat pak Fajri pulang dari kantornya Zyra sering merengek pada pak Fajri, memintanya untuk menemani Zyra jalan-jalan lah, atau untuk sekedar membelikannya bakso. Dulu pak Fajri lah yang mengajari Zyra bersepeda, dan saat Zyra sudah mulai lancar bersepeda Zyra kerap mengiringi pak Fajri bekerja walau hanya sampai depan gang kompleksnya.
Tapi sekarang semua itu tak dapat lagi pak Fajri lakukan. Penyakit itu yang menghalanginya melakukan kegiatan-kegiatan yang biasa ia lakukan dengan Zyra. Penyakit itu pula yang memaksa pak Fajri mengajukan pengunduran diri kepada Direksi tempat ia bekerja, walaupun Perusahaannya sempat tidak mengizinkannya berhenti bekerja karena dedikasinya kepada perusahaan yang sudah hampir 35 tahun ia berikan kepada Perusahaan tersebut. Pak Fajri sadar akan penyakit yang ada pada dirinya. Penyakit itu adalah penyakit turunan dari Ibu pak Fajri. Seluruh keluarga pak Fajri memang memakai kacamata, tetapi entah mengapa hanya pak Fajri yang paling parah keadaan matanya.
Awalnya pak Fajri masih dapat melihat dengan bantuan kacamata. Zyra pernah mencoba memakai kacamata terakhir yang dipakai oleh pak Fajri yang tersimpan di dalam lemari. Kacamata dengan lensa sangat tebal yang tak pernah Zyra lihat sebelumnya. Pak Fajri memberitahu Zyra bahwa kacamata itu sudah ia pakai sejak ia belum menikah dengan bu Wardah. Lalu Zyra menemukan albumfoto milik pak Fajri. Zyra melihat pak Fajri dengan gagah menunggang kuda entah dimana. Pak Fajri menceritakan pengalaman-pengalamannya saat masih muda. Pak Fajri sudah berjalan-jalan mengelilingi pulau Jawa, dan foto itu diambil saat pak fajri berada di sekitar Gunung Bromo. Lalu Zyra melihat foto-foto pernikahan kedua orangtuanya. Pak Fajri tak kalah tampan dibandingkan saat ini, sayang keadaannya jauh berbeda sekarang.


Zyra kembali melamun di atas kasurnya. Ia teringat omongan Ryo sepulang sekolah tadi. Ia ingin memungkiri perasaan iri yang bergejolak di hatinya. Ia ingin meredam rasa marahnya karna tak bisa membela bapaknya saat diejek oleh Ryo. Tapi tak bisa. Ia terlalu sedih mengingat kenangan-kenangan bersama pak Fajri sebelum penyakit itu merenggut kebebasan pak Fajri. Zyra kembali menangis mengingatnya. Zyra pernah membaca artikel tentang penyakit tersebut.
“Retinitis Pigmentosa:  yaitu suatu kemunduran progresif pada retina yang mempengaruhi penglihatan pada malam hari dan penglihatan tepi dan pada akhirnya menyebabkan kebutaan. Ini adalah penyakit turunan yang jarang terjadi. Beberapa bentuk penyakit ini diturunkan secara dominan,hanya memerlukan 1 gen dari salah satu orang tua; bentuk lainnya diturunkan melalui kromosom X,hanya memerlukan 1 gen dari ibu. Penyakit ini menyerang sel batang retina yang berfungsi mengontrol penglihatan pada malam hari. Pada retina bisa ditemukan pigmentasi yang berwarna gelap. Sel batang retina perlahan mengalami kemunduran sehingga penglihatan di ruang gelap atau penglihatan pada malam hari menurun. Lala-lama terjadi kehilangan fungsi penglihatan tepi yang progresif dan bisa mengalami kebutaan. Pada stadium lanjut, terjadi penurunan fungsi penglihatan sentral. Belum ada pengobatan yang efektif untuk Retinitis Pigmentosa. Pemakaian kacamata gelap untuk melindungi retina dari sinar ultraviolet bisa mempertahankan fungsi penglihatan. Meskipun masih dalam perdebatan, penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian antioksidan (misalnya pemberian vitamin A palmitat) bisa menunda perkembangan penyakit ini.
Zyra ingat beberapa waktu lalu pak Fajri kembali pergi ke luar kota untuk menjalani pengobatan. Entah telah berapa puluhan juta uang yang telah keluar untuk pengobatannya. Tapi hasilnya sia-sia. Dokter ahli yang menanganinya waktu itu mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada obat yang bisa digunakan untuk penyakit tersebut. Dokter itu melanjutkan walaupun berobat ke Amerika sekalipun,penyakit ini belu tentu dapat disembuhkan.
Telah berbagai jalan yang pak Fajri lakukan untuk mencari obat untuk penyakit ini. Tetapi belum satupun yang berhasil. Tapi pak Fajri tidak menyerah begitu saja. Pak Fajri tetap tabah,tegar dan sabar.
Di benaknya mulai muncul pertanyaan ; bagaimana jika bapak memang benar-benar buta?
“Mbak, kenapa nangis?” tanya bu Wardah yang sudah berada di dalam kamar Zyra karna mendengar suara tangisan Zyra.
“Tadi di sekolah bu, Ryo ngejek bapak lagi” jawab Zyra sambil terisak.
“Memang dia ngejek gimana mbak?” bu Wardah kembali bertanya sambil duduk di samping kasur Zyra yang berwarna merah marun itu.
“Dia bilang bapak buta bu”, Zyra kembali terisak “padahal bapak enggak buta kan bu..” Zyra mencoba menenangkan dirinya.
“Ya sudah, biarin aja mbak. Enggak usah didengerin omongan orang yang kayak gitu ..” jawab bu Wardah tersenyum sambil mengelus pelan rambut Zyra.
“Tapi Zyra kadang juga suka malu bu, Zyra suka diejek sama temen-temen lain kayak gitu. Kenapa sih bu harus bapak? Zyra kan mau juga bu, dianter bapak lagi kayak temen-temen yang lain. Zyra juga mau kayak yang lain kalau jalan-jalan sama bapaknya bu. Kenapa Zyra enggak bisa lagi kayak gitu?” sambil memeluk bu Wardah.
“Mbak, jangan gitu. Kita harus  ikhlas nerima cobaan dari Allah. Walaupun bapak kayak gitu coba lihat, bapak sudah mikirin gimana masa depan Zyra nanti. Uang pensiunan sudah bapak belikan tanah dan bibit karet untuk Zyra kuliah nanti. Bapak masih bisa nyangkul sendiri. Bapak masih bisa mandiri. Bapak masih mau berusaha untuk kita, sayang. Seharusnya Zyra bangga punya orangtua kayak bapak. Biarin orang lain ngejek bapak, mereka enggak tau gimana tegarnya bapak. Ibu tau Zyra sedih, ibu juga sedih, nak. Tapi apa Zyra pernah mikirin gimana perasaan bapak?”
Zyra hanya menggeleng pelan.
“Bapak yang lebih sedih, Zyra.”
 Tangisan Zyra semakin kencang, ia tak dapat lagi membendung air matanya. Selama ini ia tak pernah memikirkan bagaimana perasaan pak Fajri. Ia teringat kecerobohannya yang tidak menutup pintu dengan rapat, sehingga pak Fajri menabrak pintu itu yang menyebabkan kening pak Fajri luka dan berdarah. Saat itu Zyra menangis karena dimarahi oleh pak Fajri atas kecerobohannya. Juga ingat kecerobohannya yang menaruh gelas di pinggir meja dan tak sengaja tersenggol jatuh oleh pak Fajri dan saat itu Zyra menangis karena dimarahi oleh pak Fajri.
Tapi sekarang ia menangis bukan karena kecerobohannya. Ia menangis menyesal mengapa ia tidak sadar betapa hebat bapaknya ini. Ia menyesal pernah mempunyai perasaan malu dengan keadaan bapaknya. Ia menyesal pernah merasa iri dengan teman-temannya. Sekarang ia sadar, untuk apa merasa malu? Toh setiap manusia tak ada yang sempurna, termasuk bapaknya. Walaupun keadaannya seperti itu tapi bapaknya masih bisa menghidupi anak istrinya, masih bisa membiayai anak-anaknya bersekolah dengan uang yang halal. Ia tetap berusaha melakukan pekerjaan yang bisa ia lakukan walaupun harus terluka karena terkena parang, atau tersandung sesuatu yang tak ia kenali. Pak Fajri selalu tersenyum saat menasihati Zyra, tanpa  menunjukkan wajah lelahnya. Wajahnya yang tegas menyimpan sembilu yang tak bisa dirasakan oleh orang lain. Guratan-guratan wajahnya yang tegar memendam perih. Ia menyimpan semua itu sendiri. Ia mencoba tidak menyusahkan orang lain dengan kekurangan yang ia miliki. Ia telah melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk memenuhi apa yang anak-anaknya inginkan.
Sekarang mulai muncul lagi pertanyaan di benak Zyra ; “Pernahkah aku memberikan sesuatu untuk bapak?”
Zyra ingat, saat itu ia meminta ibunya untuk membelikannya televisi baru karena televisi lama mereka rusak. Saat televisi baru itu sudah datang Zyra sangat senang. Lalu Zyra mengajak pak Fajri untuk melihat televisi bersama.
Pak Fajri hanya tersenyum dan bertanya “Zyra seneng punya televisi baru?”.
“Iya pak, makasih ya!” teriak Zyra sambil memeluk pak Fajri “Ayo pak kita nonton bareng!” ajak Zyra.
Pak Fajri kembali tersenyum dan menjawab “Ya sudah Zyra aja yang nonton. Bapak kan sudah enggak kelihatan lagi, jadi radio ini aja sudah cukup untuk nemenin bapak.”
Zyra kembali terenyuh mengingat semua pengorbanan yang bapaknya lakukan untuknya. Semua peluh keringat kerja kerasnya ia berikan untuk anak-anaknya. Tanpa pamrih, tanpa meminta imbalan.
“Zyra nyesel, bu” isak Zyra.
“Iya iya ibu ngerti, nak” jawab bu Wardah yang juga ikut meneteskan air mata.
“Bu, apa kita enggak bisa nyariin mata untuk gantiin mata bapak?” tanya Zyra polos.
“Kita enggak perlu nyariin mata untuk bapak kok mbak,” ucap bu Wardah “kamu aja udah cukup jadi sepasang mata baru untuk bapak. Belajarlah yang rajin, buat bapak bangga, ya?” lanjut bu Wardah tersenyum pada Zyra.
Zyra hanya mengangguk sambil terus menangis di pelukan bu Wardah.
Di sofa kecil berwarna kuning telur di sebelah dinding kamar Zyra, pak Fajri tersenyum haru mendengar percakapan istri dan anaknya yang begitu setia menemaninya.


Sore itu ,seperti biasa duduk pria paruh baya di atas kursi kayu di teras samping dapur rumahnya  dengan cat berwarna coklat tua. Di sampingnya terdapat sebuah meja kecil beralaskan taplak meja berwarna cokelat muda dengan payet-payet jahitan bermotif bunga mawar berwarna merah. Di atas meja kecil tersebut ada sebuah radio kecil yang memperdengarkan tembang-tembang jawa dan secangkir kopi hitam pahit kegemarannya.

1 komentar:

terimakasih sudah berkunjung