Sabtu, 07 Juli 2018

Hi There :)


Assalamu'alaykum Warohmatullahi Wabarokatuh

Hi there :)
Saat aku menuliskan ini, aku sedang asyik duduk menunggu di ruang tunggu bandara kota Istimewa. Banyak yang lalu-lalang memang. Ada yang terlihat menyambut dengan senyum orang-orang tersayangnya, namun ada pula yang berwajah haru melepas mereka yang terkasih untuk pulang lagi menjalankan rutinitas seperti biasa.

Ah, tanpa ku sadari aku seperti sedang bercermin.
Ya, bercermin pada pengalaman sendiri yang juga sudah berulang kali merasakan perasaan yang sama seperti mereka. Terlintas di pikiranku, bagaimana senyum yang merekah tanpa bisa ku tahan itu terus-terusan tersungging di bibirku tatkala aku menunggumu datang. Saat ekor mataku mendapati bayanganmu di antara orang-orang yang menyeruak keluar itu, aku langsung menarikmu dan mengucapkan salam. Walaupun bukan yang pertama kali, tapi getaran aneh di perutku terus-terusan kambuh ketika aku melihatmu. Lalu seakan sirna ketika kamu mengelus kepalaku lembut, membalas salaman dariku.
Recehnya ya aku, hanya hal sederhana begitupun aku sudah meleleh.

Ternyata, getaran-getaran aneh di perutku muncul lagi. Saat aku harus mengantarkan kamu untuk pulang lagi menemui hari-hari sibukmu di sana. Namun saat-saat seperti ini, getaran aneh itu diperparah dengan tangan yang gemetar dan ada buliran air menetes dari pelupuk mataku. Perasaan yang sangat bertolak belakang terjadi hanya dalam beberapa hari. Terkadang aku ingin menjadi egois di saat-saat seperti ini. Tapi lagi-lagi kamu dengan lihainya menenangkan aku untuk tetap sabar, bahwa yang menunggumu di sana adalah tanggung jawab yang harus kamu penuhi. Jika kamu mangkir dari tugas itu, maka aku jugalah yang akan merugi nantinya. Baiklah, aku mengalah. Karna memang aku tidak punya kesempatan untuk menang, sih.

Rindu yang tumbuh dalam beberapa puluh bahkan beberapa ratus hari, harus cukup disemai dalam waktu beberapa jam saja. Terasa sangat tidak adil memang, waktu-waktu yang ku habiskan sendiri harus lebih banyak dibandingkan dengan waktuku bersamamu. Tapi apa mau dikata? Lagi-lagi kamu menengahi, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali. Dan akhirnya aku mengalah lagi. Kamu memang begitu pandai menyelami perasaanku. Walaupun aku tahu, pun kamu merasakan hal yang sama tapi tetap saja kamu mampu mengendalikan suasana.

Lalu terbayang, waktu singkat itu benar-benar diisi dengan kebiasaan kita. Tawa karna banyolanmu, ocehan, diskusi, bahkan rengekanku karna kejahilan/ketidakpekaanmu bergulir begitu cepatnya. Sampai kadang aku tidak sadar, detik berlalu mengantarkanmu kembali ke perantauan.


Long Distance Relationship.
Begitu sih orang-orang mengistilahkan hubungan seperti ini. Tapi bagiku, raga memang terpisah oleh jarak tapi pilihan tetap ada pada kita, apakah kita kalah pada jarak atau kitalah yang akan mengalahkannya.
Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak mungkin dan tidak akan berhasil.
Terimakasih ya, kamu, tetap sabar terhadap aku yang kadang egoisnya luar biasa.
Senyebelin gimanapun kamu, aku akan tetap sambut kamu dengan senyum kapanpun kamu pulang lagi ke kota kita.

Ditulis di bulan Syawal (7 Juli 2018)