Sabtu, 05 Oktober 2013

Untukmu, yang selalu tau cara terbaik menyakitiku




Untukmu, yang selalu tau cara terbaik menyakitiku.
yang selalu tau cara memaksaku tersenyum di balik isakanku.

Aku masih belum mengerti. Aku juga masih belum paham sepenuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi. Dan mengapa semuanya terjadi. Begitu sulit aku mencari jawaban untuk itu. Terjadi begitu saja tanpa bisa kuredam. Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Semuanya begitu tak masuk akal. Kenapa? Kenapa? Kenapa dan terus kenapa? Kenapa kamu begitu tega melakukannya? Kenapa harus aku? Kenapa tak cukup hanya aku saja? Kenapa kamu membawakanku rasa sakit yang tak terkira? Kenapa bukan mereka saja yang kamu sakiti? Kenapa harus aku yang merasakannya? Kenapa harus kamu orang yang kusayangi dengan begitu tulusnya? Kenapa harus kamu yang bisa mengalihkan semua perhatianku? Kenapa harus kamu yang terus dan terus bisa ada dalam pikiranku? Kenapa cuma kamu yang tak bisa kuusir pergi dari lamunanku walau aku amat sangat menginginkannya? Kenapa harus kamu yang dengan kerasnya aku berusaha menjaga perasaan? Kenapa harus kamu yang selalu bisa menang atas hati ini? Kenapa harus kamu salah satu yang masuk ke daftar wajib di dalam lantunan doa-doaku? Kenapa harus kamu orangnya? Kenapa?
Aku berusaha sekuat tenaga untuk terlihat tegar dan kuat, bukan untuk ku tunjukkan padamu bahwa aku bisa. Kulakunan untuk diriku sendiri,  untuk membiasakan diriku dengan keadaan. Kamu tak akan pernah mengerti apa yang kurasakan. Apa akibat dari tindakanmu itu. Pernahkan kamu memikirkan tentangku? Sejumputpun mungkin kamu tak sudi. Karna aku bukanlah prioritasmu. Aku hanya pilihan. Wanita bodoh yang tetap ingin bertahan walau berkali-kali dikoyak hatinya. Walau berkali-kali disakiti perasaannya. Walau berkali-kali janji manis hanya sekedar kata balaka.
Kita. Aku, dan kamu. Aku sempat berpikir betapa bahagianya kamu memilihku. Karna awalnya kamu memang berbeda dari yang pernah kutemui sebelumnya. Terlihat seperti batu karang, namun hangat menyeliputi di dalam. Kamu selalu bisa membuatku luluh. Entah mantra apa yang kamu gunakan. Hari, bulan dan tahun datang silih berganti. Dua tahun menjalani hubungan denganmu, ku pikir aku sudah amat dalam mengenalmu. Tapi ternyata tidak. Kamu berubah sejak kita terpisah oleh angka-angka yang disebut jarak. Ya, jarak antara kamu dan aku. Antara pulau Jawa dan Sumatra. Kamu tahu, menjadi aku itu sangat tidak mudah. Apalagi dengan kelakuanmu yang semakin hari semakin aneh ku rasa. Ingat ulang tahunku yang masuk ke tujuh belas tahun? Aku masih ingat dengan jelas, betapa menyakitkan kenangan yang kamu berikan di hari itu. Betapa bodohnya, ketika kamu bisa melupakan bahkan yang terpenting untukku tapi aku justru terus teringat apa yang bisa membuatmu bahagia. Itu baru perjalanan di awal. Setelah itu, aku benar-benar tidak bisa mengenali lagi dirimu yang dulu. Betapa cepat seseorang merubah dirinya, ya? Yang paling ku benci bukan perubahanmu sebenarnya. Tapi karna aku yang tidak bisa mengikutimu berubah. Aku tetap menjadi diriku yang bodoh. Tetap ingin bersamamu. Aku ingin sekali menghapusnya, tapi semakin ingin ku hapus, semakin kuat pula perasaan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk bertahan. Tapi semakin lama perubahanmu semakin tak terkendali. Semakin lama ku rasa semakin menyakitkan. Semakin lama yang kamu beri cuma kebohongan-kebohongan. Aku bertanya-tanya mengapa tak pernah kamu sebut-sebut aku di Blackberry massangermu. Kamu bilang karna kontakmu penuh dengan teman kerja dan kamu merasa tak enak. Oke, aku terima. Tapi kenyataan yang aku dapatkan? Ternyata selama ini aku tidak dianggap. Aku baru tau itu di kemudian hari. Aku membacanya. Ya, arsip percakapanmu dengan pacar salah satu teman kerjamu. Bukan itu yang membuatku sakit. Tapi selama percakapan yang kamu bahas melulu tentang wanita lain.
Kamu mencurahkan apa yang kamu rasa. Tentang betapa hebatnya wanita itu di matamu. Tentang bagaimana jantungmu saat mulai berbicara dengan wanita itu. Tentang bagaimana kamu merencanakan double date dengannya dan mereka. Ingin rasanya aku menjadi buta saat itu, ketika kata demi kata yang ku baca seakan menusuk mata. Tak kamu sebut aku di dalamnya. Padahal kita masih berstatus resmi saat itu. Pantas saja BBMku begitu lama kamu balas, karna kamu terlalu asyik membicarakan wanita itu dengannya. Pantas saja kamu sering marah tak jelas saat ku tanya mengapa sedikit sekali waktu yang bisa kamu sisihkan untukku, ternyata konsentrasimu sudah teralih untuk memikirkan wanita itu. Kamu tahu, aku benar-benar sakit. Dan mulailah, kehidupanmu dipenuhi dengan wanita-wanita lain di belakangku. Saat kita harus berpisah karna jarak, aku tak pernah berpikir tentang kekhawatiran bahwa kamu akan menduakanku di sana. Karna kamu yang aku kenal bukanlah tipe lelaki murahan seperti itu. Aku masih ingat betul saat kamu katakan bahwa wanita lain yang bisa dekat denganmu adalah dia yang menurutmu istimewa. Dan itu terbukti saat angka-angka itu belum muncul di tengah-tengah kita. Tetapi sekarang, kamu justru menelan ludahmu sendiri. Saat aku memberikan kepercayaanku padamu sepenuhnya, kamu hanya menganggapnya bahan candaan. Kamu permainkan kelemahanku, yang selalu luluh ketika kamu ucapkan maaf saat aku tau yang sebenarnya. Kamu bilang awalnya kamu sangat menyesal dan tidak mau mengulanginya lagi. Entahlah, aku sudah benar-benar dibodohi oleh perasaan sayang. Aku memaafkanmu. Lagi, lagi dan lagi. Apa menurutmu “maaf” hanyalah sebuah ungkapan tanpa diikuti langkah nyata untuk berubah? Sepertinya begitu. “Maaf” untukmu hanyalah kata kosong yang kamu gunakan untuk menghindari pertengkaran. Juga menghindari aku untuk tau lebih dalam seberapa besar kebohonganmu.
Selama ini ku pikir status di media sosialmu adalah melulu tentang aku. Betapa bahagianya. Ternyata kusadari, bahwa status-statusmu itu tak satupun yang kamu tulis untukku. Bahagia di atas kebodohan? Iya. Aku jadi makin merasa menjadi wanita tertolol sekarang. Berkali-kali kamu bodohi, berkali-kali kamu sakiti, berkali-kali kekecewaan kamu beri, tapi mengapa aku masih bisa bertahan? Hal yang ku benci adalah ketika aku merasakan bahwa kamu berbohong, dan aku mulai membuat persepsiku sendiri. Tapi sialnya, semua yang ku pikirkan itu benar adanaya. Benar terjadi. Di saat aku lelah bertahan tapi tak tau bagaimana cara melepaskan. Ya, aku terlalu takut. Aku sudah terbiasa denganmu. Terbiasa walaupun tanpa menatap mata. Terbiasa dengan pesan singkatmu yang memenuhi  inboxku. Dan aku terlalu pengecut untuk kehilangan itu. Lalu aku mencoba mendalami sebenarnya apa inginmu. Aku belajar memahami perubahanmu. Tapi aku gagal. Aku gagal memahamimu. Aku tak pernah bisa menyelami apa yang sebenarnya kamu mau, kamu inginkan. Puncaknya, saat kita sedang terhubung via telepon. Awalnya tak ada masalah. Semua berjalan seperti biasa. Kita masih saling mengejek dan tertawa kemudian. Lalu entah apa yang sedang terbersit di dalam kepalamu, kamu memulai percakapan itu. Saat kamu menceritakan kamu berpacaran dengan seorang wanita yang berbeda keyakinan dengan kita. Dheg. Jantungku seperti berhenti memompa saat kalimat itu meluncur masuk ke telinga dan mulai diproses oleh otakku. Tapi aku berpura-pura tertarik dan menyimaknya. Kamu ceritakan bahwa selama dua belas hari kamu bersama wanita itu. Kamu bilang kamu hanya penasaran dengan bagaimana rasanya berpacaran dengan wanita yang tak seagama. Kalimat-kalimat menyakitkan mengalir terus menerus. Aku hanya bisa menggigit bibirku kuat-kuat. Memohon kepada air mata untuk tidak membanjiri pipi. Memohon kepadamu supaya kamu mengerti bahwa itu sangat menyakitkan untukku. Rasanya aku ingin menjadi tuli saja! Kamu beralasan ingin terbuka denganku, tapi beginikah caramu untuk terbuka, sayang? Saat kamu salah memanggil di dalam pesan singkatmu, aku tahu ada yang tidak beres. Tetapi buktinya saat itu kamu mengelak, bukan? Aku jadi mengerti sekarang, mengapa saat itu, saat aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu karna hanya kamu yang mengerti kondisinya, kamu mengabaikanku. Ya, aku mengerti. Ternyata karna wanita itu. Alasan-alasanmu sibuk sampai tak sempat membalas pesan singkatku itu karna kamu sedang bersamanya kan? Saat aku merengek supaya kamu menelponku, kamu bilang kamu tidak bisa. Tak ada kejelasan alasan. Sekarang aku mengerti, karna malam minggu saat itu kamu habiskan bersama dia. Kamu bercerita dengan begitu antusias saat kamu menjemput dan mengantarnya bekerja. Saat dia selalu mencuri kesempatan untuk menggenggam tanganmu. Saat kamu bercerita kamu bertandang ke rumahnya. Saat kamu katakan bahwa dia menyayangimu juga. Bahkan saat kamu memutuskan untuk memutuskannya. Tapi dia sudah terlanjur masuk kedalam sihirmu. Dia memohon sambil memegangi tanganmu. Merengek sambil menyandarkan kepalanya di bahumu. Aku benar-benar ingin menjadi TULI! Aku sudah tidak tahan mendengarnya. Saat terbayang aku juga pernah menggenggam tangan itu. Aku juga pernah menyandarkan kepalaku di bahu itu. Aku juga pernah merasakan romantisme berkendara berdua bersamamu. Aku benar-benar tak dapat merasakan hatiku. Sesak, perih, sakit. Tak ada satupun kata yang pas untuk mendeskripsikannya. Kenapa? Kenapa saat aku membutuhkan genggamanmu untuk menguatkanku di sini, kamu malah memberikan itu untuknya? Kenapa saat aku butuh sandaran karna lelah dengan semua, kamu jusrtu membiarkan dia seenak jidat yang mendapatkannya? Kenapa? Kenapa kamu MEMBAGINYA? Kenapa kamu harus membagi kebahagianku itu? Kenapa kamu harus membagi apa yang aku miliki satu-satunya saat ini? Saat aku bisa bertahan karena mengingat kenangan manis bersamamu. Kenapa? Apa sebenarnya tujuanmu? Tak puaskah kamu sudah berkali-kali melakukan ini kepadaku? Tak puaskah kamu? Aku tak ingin membaginya dengan siapapun. Harusnya kamu menyadari itu. Kita masih terikat dalam suatu hubungan. Sebenarnya apa aku ini di matamu? Sebagai apa aku ini untukmu? Jika tak dapat kamu temukan apa yang kamu cari dariku, jujurlah. Jika tak dapat kamu temukan apa yang kamu inginkan dariku, bicaralah. Setidaknya kita bisa mengakhiri hubungan ini dengan cara baik-baik.
Kamu pernah bilang “Udahlah dek, tenang aja. Bakal abang jaga hati adek tu!”, ingatkah? Ini yang kamu maksud dengan menjaga hatiku, abang? Dengan membagi hatimu dengan wanita-wanita lain di sana. Dengan memberikan perhatian lebih pada wanita-wanita itu sementara aku di sini diacuhkan? Sebenarnya apa maksudmu? Sebenarnya apa yang kamu inginkan dengan menyakitiku begitu dalam? Sebenarnya apa yang coba untuk kamu buktikan? Apa? APA?! Tak bisakah sebelum kamu mengambil keputusan untuk mendua, kamu mengingat apa yang sudah kita lakukan bersama? Tak bisakah? Tak bisakah kamu mengingat apa yang sudah kita perjuangkan? Apa yang sudah kita lewati bersama? Mengingat hari-hari penuh tawa dan bahagia? Tak bisakah kamu mengingat aku? Tak bisakah kamu mengalahkan keegoisanmu itu? Dan aku lelah. Aku lelah berjuang sendirian. Aku lelah bertahan tanpa dipertahankan. Aku lelah menjadi seperti ini. Menjadi kekasih bayanganmu. Karena menjadi kekasihmu belum berarti menempatkanku sebagai prioritasmu. Karena menjadi kekasihmu itu tak serta merta berarti akulah orang yang paling sering berkirim pesan denganmu atau menjadi orang pertama yang kamu kirimi ucapan selamat pagimu. Aku tak bisa lagi menemukan alasan untuk tetap bertahan. Dan kamu juga tak bisa memberikanku alasan untuk bertahan. Kamu bilang kamu tak akan meninggalkanku. Ya, memang benar kamu tidak meningalkanku. Tapi kamu menduakan. Itu jauh lebih menyakitkan. Jika harus memilih, aku lebih ikhlas  kamu tinggalkan daripada harus kamu duakan. Aku lebih ikhlas menerima kenyataan kita berpisah karena ketidak-cocokan, ketimbang berakhir dengan munculnya orang ketiga di dalam hubungan ini. Aku menyerah. Bukan karena keadaan. Bukan karena jarak. Tapi aku menyerah karenamu. Ya, karena kamu. Begitu tak berartinya aku di matamu, sehingga kamu tega melakukannya. Begitu tak barharganya diriku di dalam hidupmu, sehingga kamu memutuskan untuk mendua.




Dariku, wanita bodoh yang tetap bisa menyimpan rasa sayangnya di salah satu bilik hati.
Yang terus berharap, bahwa semua sakit ini hanyalah mimpi.
Yang tak akan pernah bisa mengerti, mengapa semuanya terjadi.