Untukmu, yang selalu tau cara terbaik menyakitiku.
yang selalu tau cara memaksaku tersenyum di balik isakanku.
Aku masih belum mengerti. Aku juga masih
belum paham sepenuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi. Dan mengapa semuanya
terjadi. Begitu sulit aku mencari jawaban untuk itu. Terjadi begitu saja tanpa
bisa kuredam. Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Semuanya begitu
tak masuk akal. Kenapa? Kenapa? Kenapa dan terus kenapa? Kenapa kamu begitu
tega melakukannya? Kenapa harus aku? Kenapa tak cukup hanya aku saja? Kenapa kamu
membawakanku rasa sakit yang tak terkira? Kenapa bukan mereka saja yang kamu
sakiti? Kenapa harus aku yang merasakannya? Kenapa harus kamu orang yang
kusayangi dengan begitu tulusnya? Kenapa harus kamu yang bisa mengalihkan semua
perhatianku? Kenapa harus kamu yang terus dan terus bisa ada dalam pikiranku? Kenapa
cuma kamu yang tak bisa kuusir pergi dari lamunanku walau aku amat sangat
menginginkannya? Kenapa harus kamu yang dengan kerasnya aku berusaha menjaga
perasaan? Kenapa harus kamu yang selalu bisa menang atas hati ini? Kenapa harus
kamu salah satu yang masuk ke daftar wajib di dalam lantunan doa-doaku? Kenapa harus
kamu orangnya? Kenapa?
Aku berusaha sekuat tenaga untuk terlihat tegar dan kuat, bukan untuk ku
tunjukkan padamu bahwa aku bisa. Kulakunan untuk diriku sendiri, untuk membiasakan diriku dengan keadaan. Kamu tak
akan pernah mengerti apa yang kurasakan. Apa akibat dari tindakanmu itu. Pernahkan
kamu memikirkan tentangku? Sejumputpun mungkin kamu tak sudi. Karna aku
bukanlah prioritasmu. Aku hanya pilihan. Wanita bodoh yang tetap ingin bertahan
walau berkali-kali dikoyak hatinya. Walau berkali-kali disakiti perasaannya. Walau
berkali-kali janji manis hanya sekedar kata balaka.
Kita. Aku, dan kamu. Aku sempat berpikir
betapa bahagianya kamu memilihku. Karna awalnya kamu memang berbeda dari yang
pernah kutemui sebelumnya. Terlihat seperti batu karang, namun hangat
menyeliputi di dalam. Kamu selalu bisa membuatku luluh. Entah mantra apa yang
kamu gunakan. Hari, bulan dan tahun datang silih berganti. Dua tahun menjalani
hubungan denganmu, ku pikir aku sudah amat dalam mengenalmu. Tapi ternyata
tidak. Kamu berubah sejak kita terpisah oleh angka-angka yang disebut jarak. Ya,
jarak antara kamu dan aku. Antara pulau Jawa dan Sumatra. Kamu tahu, menjadi
aku itu sangat tidak mudah. Apalagi dengan kelakuanmu yang semakin hari semakin
aneh ku rasa. Ingat ulang tahunku yang masuk ke tujuh belas tahun? Aku masih
ingat dengan jelas, betapa menyakitkan kenangan yang kamu berikan di hari itu. Betapa
bodohnya, ketika kamu bisa melupakan bahkan yang terpenting untukku tapi aku
justru terus teringat apa yang bisa membuatmu bahagia. Itu baru perjalanan di
awal. Setelah itu, aku benar-benar tidak bisa mengenali lagi dirimu yang dulu. Betapa
cepat seseorang merubah dirinya, ya? Yang paling ku benci bukan perubahanmu
sebenarnya. Tapi karna aku yang tidak bisa mengikutimu berubah. Aku tetap
menjadi diriku yang bodoh. Tetap ingin bersamamu. Aku ingin sekali
menghapusnya, tapi semakin ingin ku hapus, semakin kuat pula perasaan ini. Akhirnya
aku memutuskan untuk bertahan. Tapi semakin lama perubahanmu semakin tak
terkendali. Semakin lama ku rasa semakin menyakitkan. Semakin lama yang kamu
beri cuma kebohongan-kebohongan. Aku bertanya-tanya mengapa tak pernah kamu
sebut-sebut aku di Blackberry massangermu.
Kamu bilang karna kontakmu penuh dengan teman kerja dan kamu merasa tak enak. Oke,
aku terima. Tapi kenyataan yang aku dapatkan? Ternyata selama ini aku tidak dianggap. Aku baru tau itu di kemudian
hari. Aku membacanya. Ya, arsip percakapanmu dengan pacar salah satu teman
kerjamu. Bukan itu yang membuatku sakit. Tapi selama percakapan yang kamu bahas
melulu tentang wanita lain.
Kamu mencurahkan apa yang kamu rasa. Tentang
betapa hebatnya wanita itu di matamu. Tentang bagaimana jantungmu saat mulai
berbicara dengan wanita itu. Tentang bagaimana kamu merencanakan double date dengannya dan mereka. Ingin rasanya
aku menjadi buta saat itu, ketika kata demi kata yang ku baca seakan menusuk
mata. Tak kamu sebut aku di dalamnya. Padahal kita masih berstatus resmi saat
itu. Pantas saja BBMku begitu lama kamu balas, karna kamu terlalu asyik
membicarakan wanita itu dengannya. Pantas saja kamu sering marah tak jelas saat
ku tanya mengapa sedikit sekali waktu yang bisa kamu sisihkan untukku, ternyata
konsentrasimu sudah teralih untuk memikirkan wanita itu. Kamu tahu, aku
benar-benar sakit. Dan mulailah, kehidupanmu dipenuhi dengan wanita-wanita lain
di belakangku. Saat kita harus berpisah karna jarak, aku tak pernah berpikir
tentang kekhawatiran bahwa kamu akan menduakanku di sana. Karna kamu yang aku
kenal bukanlah tipe lelaki murahan seperti itu. Aku masih ingat betul saat kamu
katakan bahwa wanita lain yang bisa dekat denganmu adalah dia yang menurutmu
istimewa. Dan itu terbukti saat angka-angka itu belum muncul di tengah-tengah
kita. Tetapi sekarang, kamu justru menelan ludahmu sendiri. Saat aku memberikan
kepercayaanku padamu sepenuhnya, kamu hanya menganggapnya bahan candaan. Kamu permainkan
kelemahanku, yang selalu luluh ketika kamu ucapkan maaf saat aku tau yang
sebenarnya. Kamu bilang awalnya kamu sangat menyesal dan tidak mau
mengulanginya lagi. Entahlah, aku sudah benar-benar dibodohi oleh perasaan
sayang. Aku memaafkanmu. Lagi, lagi dan lagi. Apa menurutmu “maaf” hanyalah
sebuah ungkapan tanpa diikuti langkah nyata untuk berubah? Sepertinya begitu. “Maaf”
untukmu hanyalah kata kosong yang kamu gunakan untuk menghindari pertengkaran. Juga
menghindari aku untuk tau lebih dalam seberapa besar kebohonganmu.
Selama ini ku pikir status di media
sosialmu adalah melulu tentang aku. Betapa bahagianya. Ternyata kusadari, bahwa
status-statusmu itu tak satupun yang kamu tulis untukku. Bahagia di atas
kebodohan? Iya. Aku jadi makin merasa menjadi wanita tertolol sekarang. Berkali-kali
kamu bodohi, berkali-kali kamu sakiti, berkali-kali kekecewaan kamu beri, tapi
mengapa aku masih bisa bertahan? Hal yang ku benci adalah ketika aku merasakan
bahwa kamu berbohong, dan aku mulai membuat persepsiku sendiri. Tapi sialnya,
semua yang ku pikirkan itu benar adanaya. Benar terjadi. Di saat aku lelah
bertahan tapi tak tau bagaimana cara melepaskan. Ya, aku terlalu takut. Aku sudah
terbiasa denganmu. Terbiasa walaupun tanpa menatap mata. Terbiasa dengan pesan singkatmu
yang memenuhi inboxku. Dan aku terlalu pengecut untuk kehilangan itu. Lalu aku
mencoba mendalami sebenarnya apa inginmu. Aku belajar memahami perubahanmu. Tapi
aku gagal. Aku gagal memahamimu. Aku tak pernah bisa menyelami apa yang
sebenarnya kamu mau, kamu inginkan. Puncaknya, saat kita sedang terhubung via
telepon. Awalnya tak ada masalah. Semua berjalan seperti biasa. Kita masih
saling mengejek dan tertawa kemudian. Lalu entah apa yang sedang terbersit di
dalam kepalamu, kamu memulai percakapan itu. Saat kamu menceritakan kamu
berpacaran dengan seorang wanita yang berbeda keyakinan dengan kita. Dheg. Jantungku seperti berhenti memompa
saat kalimat itu meluncur masuk ke telinga dan mulai diproses oleh otakku. Tapi
aku berpura-pura tertarik dan menyimaknya. Kamu ceritakan bahwa selama dua
belas hari kamu bersama wanita itu. Kamu bilang kamu hanya penasaran dengan
bagaimana rasanya berpacaran dengan wanita yang tak seagama. Kalimat-kalimat
menyakitkan mengalir terus menerus. Aku hanya bisa menggigit bibirku kuat-kuat.
Memohon kepada air mata untuk tidak membanjiri pipi. Memohon kepadamu supaya
kamu mengerti bahwa itu sangat menyakitkan untukku. Rasanya aku ingin menjadi
tuli saja! Kamu beralasan ingin terbuka denganku, tapi beginikah caramu untuk
terbuka, sayang? Saat kamu salah memanggil di dalam pesan singkatmu, aku tahu
ada yang tidak beres. Tetapi buktinya saat itu kamu mengelak, bukan? Aku jadi
mengerti sekarang, mengapa saat itu, saat aku benar-benar membutuhkan
pertolonganmu karna hanya kamu yang mengerti kondisinya, kamu mengabaikanku. Ya,
aku mengerti. Ternyata karna wanita itu. Alasan-alasanmu sibuk sampai tak
sempat membalas pesan singkatku itu karna kamu sedang bersamanya kan? Saat aku
merengek supaya kamu menelponku, kamu bilang kamu tidak bisa. Tak ada kejelasan
alasan. Sekarang aku mengerti, karna malam minggu saat itu kamu habiskan bersama
dia. Kamu bercerita dengan begitu antusias saat kamu menjemput dan mengantarnya
bekerja. Saat dia selalu mencuri kesempatan untuk menggenggam tanganmu. Saat kamu
bercerita kamu bertandang ke rumahnya. Saat kamu katakan bahwa dia menyayangimu
juga. Bahkan saat kamu memutuskan
untuk memutuskannya. Tapi dia sudah terlanjur masuk kedalam sihirmu. Dia memohon
sambil memegangi tanganmu. Merengek sambil menyandarkan kepalanya di bahumu. Aku
benar-benar ingin menjadi TULI! Aku sudah tidak tahan mendengarnya. Saat terbayang
aku juga pernah menggenggam tangan
itu. Aku juga pernah menyandarkan
kepalaku di bahu itu. Aku juga pernah merasakan
romantisme berkendara berdua bersamamu. Aku benar-benar tak dapat merasakan
hatiku. Sesak, perih, sakit. Tak ada satupun kata yang pas untuk
mendeskripsikannya. Kenapa? Kenapa saat aku membutuhkan genggamanmu untuk
menguatkanku di sini, kamu malah memberikan itu untuknya? Kenapa saat aku butuh
sandaran karna lelah dengan semua, kamu jusrtu membiarkan dia seenak jidat yang
mendapatkannya? Kenapa? Kenapa kamu MEMBAGINYA? Kenapa kamu harus membagi
kebahagianku itu? Kenapa kamu harus membagi apa yang aku miliki satu-satunya
saat ini? Saat aku bisa bertahan karena mengingat kenangan manis bersamamu. Kenapa?
Apa sebenarnya tujuanmu? Tak puaskah kamu sudah berkali-kali melakukan ini
kepadaku? Tak puaskah kamu? Aku tak ingin membaginya dengan siapapun. Harusnya kamu
menyadari itu. Kita masih terikat dalam suatu hubungan. Sebenarnya apa aku ini
di matamu? Sebagai apa aku ini untukmu? Jika tak dapat kamu temukan apa yang
kamu cari dariku, jujurlah. Jika tak dapat kamu temukan apa yang kamu inginkan dariku,
bicaralah. Setidaknya kita bisa mengakhiri hubungan ini dengan cara baik-baik.
Kamu pernah bilang “Udahlah dek, tenang
aja. Bakal abang jaga hati adek tu!”, ingatkah? Ini yang kamu maksud dengan
menjaga hatiku, abang? Dengan membagi hatimu dengan wanita-wanita lain di sana.
Dengan memberikan perhatian lebih pada wanita-wanita itu sementara aku di sini
diacuhkan? Sebenarnya apa maksudmu? Sebenarnya apa yang kamu inginkan dengan
menyakitiku begitu dalam? Sebenarnya apa yang coba untuk kamu buktikan? Apa?
APA?! Tak bisakah sebelum kamu mengambil keputusan untuk mendua, kamu mengingat
apa yang sudah kita lakukan bersama? Tak bisakah? Tak bisakah kamu mengingat
apa yang sudah kita perjuangkan? Apa yang sudah kita lewati bersama? Mengingat hari-hari
penuh tawa dan bahagia? Tak bisakah kamu mengingat aku? Tak bisakah kamu
mengalahkan keegoisanmu itu? Dan aku lelah. Aku lelah berjuang sendirian. Aku lelah
bertahan tanpa dipertahankan. Aku lelah menjadi seperti ini. Menjadi kekasih bayanganmu. Karena menjadi kekasihmu belum berarti menempatkanku sebagai prioritasmu. Karena menjadi kekasihmu itu tak serta merta berarti akulah orang yang paling sering berkirim pesan denganmu atau menjadi orang pertama yang kamu kirimi ucapan selamat pagimu. Aku tak bisa lagi
menemukan alasan untuk tetap bertahan. Dan kamu juga tak bisa memberikanku
alasan untuk bertahan. Kamu bilang kamu tak akan meninggalkanku. Ya, memang
benar kamu tidak meningalkanku. Tapi kamu menduakan. Itu jauh lebih
menyakitkan. Jika harus memilih, aku lebih ikhlas kamu tinggalkan daripada harus kamu duakan. Aku
lebih ikhlas menerima kenyataan kita berpisah karena ketidak-cocokan, ketimbang
berakhir dengan munculnya orang ketiga di dalam hubungan ini. Aku menyerah. Bukan
karena keadaan. Bukan karena jarak. Tapi aku menyerah karenamu. Ya, karena
kamu. Begitu tak berartinya aku di matamu, sehingga kamu tega melakukannya. Begitu
tak barharganya diriku di dalam hidupmu, sehingga kamu memutuskan untuk mendua.
Dariku, wanita bodoh yang tetap bisa
menyimpan rasa sayangnya di salah satu bilik hati.
Yang terus berharap, bahwa semua sakit ini
hanyalah mimpi.
Yang tak akan pernah bisa mengerti, mengapa
semuanya terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah berkunjung