Rabu, 28 Agustus 2013

untukmu, 22 :')

Waktu merangkak dengan cepat, merangkak yang kita kira lambat ternyata bergerak seakan tanpa jerat. Semua telah berubah, begitu juga kamu, begitu juga aku, begitu juga kita. Bahkan waktu telah menghapus KITA yang pernah merasa tak berbeda, waktu telah memutarbalikkan segalanya yang sempat indah. Tak ada yang tahu, kapan perpisahan menjadi penyebab kegelisahan. Aku menjalani, kamu meyakini, namun pada akhirnya waktu juga yang akan menentukan akhir cerita ini. Kamu tak punya hak untuk menebak, begitu juga aku.
Kaubilang, tak ada yang terlalu berbeda, tak ada yang terasa begitu menyakitkan. Tapi, siapa yang tahu perasaan seseorang yang terdalam? Mulut bisa berkata, tapi hati sulit untuk berdusta. Kalau boleh aku jujur, semua terasa asing dan berbeda. Ketika hari-hari yang kulewati seperti tebakan yang jawabannya sudah kuketahui. Tak ada lagi kejutan, tak banyak hal-hal penuh misteri yang membuatku penasaran. Aku seperti bisa meramalkan semuanya, hari-hariku terasa hambar karena aku bisa membaca menit-menit di depan waktu yang sedang kujalani. Aku bisa dengan mudah mengerti peristiwa, tanpa pernah punya secuil rasa untuk menyelami sebab dan akibatnya. Aku paham dengan detik yang begitu mudah kuprediksi, semua terlalu mudah terbaca, tak ada yang menarik. Kepastian membuatku bungkam, sehingga aku kehilangan rasa untuk mencari dan terus mencari. Itulah sebabnya setelah tak ada lagi kamu di sini. Kosong.
Bagaimana aku bisa menjelaskan banyak hal yang mungkin saja tidak kamu rasakan? Aku berada di lorong-lorong gelap dan menunggu rengkuhan jemarimu mempertemukan aku pada cahaya terang. Namun, bahkan tanganmu saja enggan menyentuh setiap celah dalam jemariku, dan penyelamatan yang kurindukan hanyalah omong kosong yang memekakkan telinga. Harapanku terlalu jauh untuk mengubah semuanya seperti dulu, saat waktu yang kita jalani adalah kebahagiaan kita seutuhnya, saat masih ada kamu dalam barisan hariku.
Perpisahan seperti mendorongku pada realita yang selama ini kutakutkan. Kehilangan mempersatukan aku pada air mata yang seringkali jatuh tanpa sebab. Aku sulit memahami kenyataan bahwa kamu tak lagi ada dalam semestaku, aku semakin tak bisa menerima keadaan yang semakin menyudutkanku. Semua kenangan bergantian melewati otakku, bagai film yang tak pernah mau berhenti tayang. Dan, aku baru sadar, ternyata kita dulu begitu manis, begitu mengagumkan, begitu sulit untuk dilupakan.
Ada yang kurang. Ada yang tak lengkap. Aku terbiasa pada kehadiranmu, dan ketika menjalani setiap detik tanpamu, yang kurasa hanya bayang-bayang yang saling berkejaran, saling menebar rasa ketakutan. Ada rasa takut tanpa sebab yang memaksaku untuk terus memikirkan kamu. Ada kekuatan yang sulit kujelaskan yang membawa pikiranku selalu mengkhawatirkanmu. Salahkah jika aku masih inginkan penyatuaan? Salahkah jika aku benci perpisahan?
Tak banyak yang ingin kujelaskan, saat kesepian menghadangku setiap malam. Biasanya, malam-malam begini ada suaramu, mengantarku sampai gerbang mimpi dan membiarkanku sendiri melewati setiap rahasia hati. Kali ini, aku sendiri, memikirkan kamu tanpa henti. Jika kita masih saling menghakimi dan saling menyalahi, apakah mungkin yang telah putus akan tersambung dengan pasti? Aku tak tahu dan tak mau memikirkan keadaan yang tak mungkin kembali. Semua sudah jelas, namun entah mengapa aku masih sulit memahami, kenapa harus kita yang alami ini? Tak adakah yang lain? Aku dan kamu bukan orang jahat, namun mengapa kita terus saja disakiti. Bukankah di luar sana masih banyak orang jahat?
Jangan tanyakan padaku, jika senyumku tak lagi sama seperti dulu. Aku bahkan tak mengenal diriku sendiri, karena separuh yang ada dalam diriku sudah berada dalammu... yang pergi, dan entah kapan kembali.

Seratus Empat Puluh Empat Jam yang Lalu


          Rasanya selalu sama. Ada sesuatu yang menggelitik perutku saat ingin bertemu denganmu, sesuatu yang membuat pipiku terasa panas dan membuat tanganku menjadi dingin dan berkeringat. Padahal ini bukan kali pertama, kedua atau ketiga kalinya kita bertemu. Selasa lalu kamu menyusulku, di sini. Di tempat Nyai Roro Jonggrang dengan anggun berdiam. Aku tahu ini tidak mudah untukmu, karna harus mengorbankan beberapa kesibukanmu. Kamu tahu, hatiku tak berhenti meletup-letup saat itu. Setelah delapan bulan aku hanya bisa melihat wajahmu di dunia maya. Akhirnya kurasakan lagi betapa sejuk tatapan lembutmu langsung, tanpa memalui perantara.
          Kamu menungguku di gerbang masuk candi itu, duduk manis dengan gaya kalemmu. Aku selalu menyukai itu. Akhirnya mata kita bertemu! Ah, kurasa jantungku sudah berlari entah kemana saat itu. Lalu seperti yang biasa kita lakukan, kamu mengulurkan tangan dan ku sambut lembut. Kamu menarikku untuk duduk di sampingmu. Saat itu aku khawatir, apakah jantungku baik-baik saja?
          Kita saling mengamati, meneliti satu sama lain. Dan kemudian tawa canda kerinduan mulai mengalir. Begitulah seterusnya. Bayolan-bayolanmu itu, oh sayang, aku berharap bisa setiap saat mendengarnya. Kamu memintaku mengantarmu ke lima penjuru kota ini. Walaupun kenyataannya hanya beberapa tempat saja yang bisa kita singgahi. Prambanan, Malioboro, dan Pantai Parangtritis adalah target yang bisa tercapai. Dengan TransJogja sebagai pemandunya. Aku sempat berpikr, bisakah jika aku meminta waktu berhenti berputar? Supaya aku bisa menguncimu tetap di sini.
          Tiga hari berlalu begitu cepat. Tepat di hari jadi yang sudah empat puluh empat bulan itu, kamu kembali ke kotamu. Rasanya begitu berat dan sesak. Tak adil delapan bulan dibayar hanya dengan tujuh puluh dua jam saja. Aku tahu aku egois, tapi saat itu aku benar-benar berharap setidaknya bisa memperlambat lajunya waktu. Maaf aku tidak bisa mengantarmu sampai stasiun tempat kuda uap itu akan membawamu kembali. Jika bisapun aku harus berpikir tiga sampai empat kali karna tak akan sanggup melihatmu pergi.
          Aku bertahan karna kamu bilang hanya ada aku. Dan aku tetep keukeuh mempercayai itu.  Tapi itu hanya bertahan seratus empat puluh empat jam saja. Saat kamu sudah kembali disibukkan dengan berbagai kegiatanmu. Aku tahu ini memalukan, tapi aku benar-benar kesepian. Aku hanya berharap kamu bisa meluangkan sedikit waktumu untukku. Memberi tahuku apa yang kamu lakukan di sana. Aku bukan tidak menerimamu dengan keadaan itu, tapi aku ingin kamu juga bisa menyelipkan aku di dalamnya. Itu saja. Agar aku tidak berpikir macam-macam saat berjam-jam tak ada pesan darimu. Tak ada penjelasan apapun.
          Tapi ternyata empat puluh empat bulan ini harus kandas hanya dalam waktu seratus empat puluh empat jam setelah pertemuan itu.
          Maafkan aku, aku tahu aku egois. Tapi aku sama sekali tidak mengharapkan kata itu terlontar darimu.


          Untukmu, yang masih tetap bisa membuatku menagis dalam diam.